Bagi kadang-kadang PSHT sendiri sebagai seorang individu
Perjalanan
hidup seorang pada umumnya selalu terombang ambing oleh pasang surut gelombang
kehidupan, entah itu sebagai “cobaan”
ataupun sebagai ujian hidup. Gelombang itu bisa diakui sebagai “kawan” ataupun
diakui sebagai “lawan” hal tersebut tergantung pada kekuatan, keseimbangan, dan
keselarasan “diri pribadi” menetukan sikap dalam menghadapi gelombang yang
merupakan “tantangan hidup” itu. Karena semuanya proses itu tiada terlepas dan
berada dalam TATA WISESA TUHAN sesuai dengan kodrat (kuasa) dan iradat (karsa)
Tuhan YME. Oleh karena itu, barang siapa selalu dalam hukum
Tuhan, meyelaraskan
tiap kehendakdan perbuatan dengan kodrat dan iradat Illahi, maka mereka akan
“aman tentram selamat sejahtera” lahir dan batin.
Dalam hubungan ini Setia Hati membantu
membimbing kadang-kadang mencapai tujuan tersebut dengan mengusahakan
latihan-latihan untuk dapat menguasai kekuatan jasmaniah dan kekuatan rohaniah
dengan latihan olah raga dan olah jiwa. Setia Hati berkeyakinan, bawa gerak
mobah molah insane itu bertujuan:
1. Mempertahankan diri pribadi.
2. Mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan
(lahir-batin).
3. Kembali pada sumber-Nya
(sesempurna-sesempurnanya).
Setiap insan Setia Hati
diwajibkan memahami pencak silat Setia Hati dan menjiwai kerohanian Setia Hati
dengan melakukan latihan-latihan secara teratur, terarah, dan tekun. Tiap
latihan harus dikerjakan denagn teliti sampai selesai dengan hasil yang
memuaskan, baik lahiriah dan juga batiniah. Semua itu dipersiapkan untuk
menghadapi semua tantangan hidup, dengan menghayati ajaran-ajaran, diharapkan setiap
insan-insan Setia Hati akan berhasil mencapai suasana “aman, tentram,
senantiasa selamat sejahtera ” lahir-batin didunia dan di akhirat.
Bagi kadang PSHT dalam
ikatan organisasi
Insan
PSHT yang merasa mempunyai ikatan tali Persaudaraan Setia Hati Terate dalam
arti Diri Setia Kepada hati sanubari, berjiwa pribadi PSHT merasa serta
berpencak silat PSHT sudah selayaknya merasa sati rumpun.
PSHT
harus dapat merasakan sebagai “suh/simpai” yaitu suatu pengikat untuk
menghimpun san mengatur secara organisasi yang baik dan teratur, yang tidak
boleh diabaikan begitu saja dalam pembangunan, khususnya di bidang mental
spiritual.
Ikatan
batin dengan jiwa pribadi SH dalam suatu organisasi yang baik dan teratur
sebagai wadah atau sarana, dimana para kadang dapat saling “silih asah, silih asuh, silih asih”
(masing-masing saling mempercerdas, mengasuh hingga timbul rasa cinta kasih dan
kasih sayang satu sama lain).
Bagi kemanusiaan
PSHT bermaksud
memberikan bimbingan kepada kadang-kadang kearah “diri setia kepada hati
sanubari” karena jika diri sungguh-sungguh sudah setia kepada hati sanubari.
Ini berarti bahwasanya “diri dengan pribadi” sudah menjadi satu manunggal,
lingkup melingkupi dan serap menyerapi. Manusia sungguh-sungguh mewujudkan
suatu totalitas, suatu kebutuhan bulat. Manusianya sungguh-sungguh dapat
disebut “pelaku bulat” dari Tuhan YME. Ajaran-ajaran tersebut pada dasarnya
beraspek universal untuk seluruh manusia, tidak hanya semata-mata kadang PSHT
saja.
Hati sanubari
atau “pribadi” tidak dapat disangkal lagi sebagai landasan untuk beriman dan
memantapkan iman kepada Tuhan YME di dalam lubuk hati yang paling dalam yaitu
hati sanubari. Hati sanubarilah yang dapat mewujudkan gerak mobah molah atau
pakarti adil, jujur, benar,tepa sarira dan membawa seseorang ke “rasa pangrasa”
yang halus dan mendalam. Rasa ini yang mengantarkan kepada rasa kemanusiaan
yang adil dan beradab serta berbudi luhur. Tiada pekerti budi luhur tanpa
melandaaskan diri pada Tuhan YME itu tumbuh kembangnya di hati sanubari.
Oleh karenanya
itu tidak berlebihan, jika yang disebut hati sanubari atau pribadi itu dianggap
berfungsi seolah-olah “sebagai duta besar
berkuasa penuh” untuk mencapai ke Tuhan YME dan dari Tuhan YME, disamping
fungsinya sebagai sarana Tuhan YME untuk menyatakan diri dalam wahyu-Nya.
Dengan diri setia kepada hati sanubari, maka diri sudah manunggal dengan
pribadi yang saling lingkup melingkupi, serap menyerapi. Dengan begitu diri
tidak menjadi tirai (pemisah) antara pribadi dengan Tuhan YME penciptanya.
Dalam hubungan ini diri bahkan dapat menjadi tombol antara pribadi dengan Tuhan
YME. Hal ini seperti tersebut diatas bisalah digunakan sebagai salah satu unsur
landasan dalam tata kehidupan ber-Pancasila demi memantapkan suksesnya
“pembangunan bangsa Indonesia”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar